Orang yang gak pintar-pintar..

Selasa, 30 November 2010

Senin, 29 November 2010

Memasang Background Gambar Di Belakang Tulisan Pada Posting

Cara Memasang Background Gambar Di Belakang Tulisan Pada Posting
setelah utak atik di html akhirnya bisa juga menampilkan Baground pada tulisan atau posting.

Langsung saja saya berikan caranya untuk memasang background gambar di halaman posting

1. Masuk ke admin blogspot anda atau blog lain.
2. Klik Posting
3. Copy kode dibawah dan paste-kan di area “HTML“:



<div style="padding: 5px; background-image: url(http://alamat_gambar_anda.jpg); background-repeat: repeat; background-position: center;">
Isi postingan atau tulisan di sini
</div>


dengan baground repeat maka gambar anda akan di tampilkan ulang ke bawah
sebanyak atau selebar tulisan anda.

sebagai contoh pada posting ini yang bagroundnya gambar kucing hitam
scripnya sebagai berikut :


<div style="padding: 5px; background-image: url(http://4.bp.blogspot.com/_1AylmcYZhlk/THmK4SbTKEI/AAAAAAAAAdE/-GFlCMZb0Ps/s320/kucing-hitam-1.jpg); background-repeat: repeat; background-position: center;">
Isi postingan halaman ini.
</div>


4. Kemudian tulis artikel anda dan setelah selesai terbitkan atau simpan.
5. Dan klik tombol “Publish“.
6. selesai..

Selamat Mencoba..
(kangjeri)

Share:

Minggu, 28 November 2010

Keperawanan Tidak Lagi Sakral!


Apa itu perawan ? mukin tidak perlu di jelaskan kita semua pasti tau. Seberapa pentingkah nilai keperawanan itu? Mungkin ini yang menjadi pertanyaan kita semua. Karena ini menyangkut nilai-nilai kesusilaan dan adat sopan santun.

Di Negara Liberal nilai keperawanan mungkin tidak begitu penting, tapi di negeri kita tercinta, mengeklaim sebagai negeri timur yang menjujung tinggi nilai-nilai kesusilaan dan adat sopan santun pastilah keperawanan (remaja perempuan lajang) itu sangat penting.

Tetapi fakta yang ada di negeri ini sangatlah bertentangan, sebagai mana di tulis di Kompas.com bahwa separuh remaja perempuan lajang di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi disebut tidak perawan karena melakukan hubungan seks pranikah.


Tidak sedikit yang hamil diluar nikah.
Dari 100 remaja, 51 remaja perempuannya sudah tidak lagi perawan, ," ungkap Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief kepada sejumlah media dalam Grand Final Kontes Rap dalam memperingati Hari AIDS sedunia di lapangan parkir IRTI Monas, Minggu (28/11/2010).

... di Surabaya 54 persen, Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen. -Sugiri Syarief

Selain di Jabodetabek, ujar Sugiri, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa di Surabaya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen. Menurutnya, data ini dikumpulkan BKKBN selama kurun waktu 2010 saja.

Melihat data tersebut terkejutkah? atau mukin sudah lumprah. Apakah ini semua buah dari kebodohan bangsa?!.

Memang mental dan dan pembangunan karakter masyarakat, khususnya generasi muda perlu di lakukan, harus ada aksi nyata dari pemerintah, dan semua elemen masyarakat terutama lembaga pendidikan.

Banyak dari generasi muda kita terjebak dalam lingkaran kapitalis dan budaya hedonis dalam proses menunjukkan identitas diri, ditengah-tengah komunitasnya.

Semoga nilai-nilai subtansi dari keperawanan tetap sakral!

(kangjeri)
Share:

Jumat, 19 November 2010

Tahun 2010 CPNS Nganjuk 270 Formasi

Pemerintah Kabupaten Nganjuk melalui Badan Kepegawaian Daerah mengumumkan penerimaan CPNS untuk tahun 2010.

Pada tahun ini Kabupaten Nganjuk terdapat 270 formasi terdiri dari 107 tenaga pendidikan, 74 tenaga kesehatan dan 89 tenaga teknis. Persyaratan pendaftar adalah Warga Negara Indonesia, Usia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima) tahun per 1 Januari 2011 dan 40 (empat puluh) tahun bagi yang mengabdi pada instansi Pemerintah atau Lembaga Swasta yang Berbadan Hukum yang menunjang Kepentingan Nasional.


Adapan perysaratan lainnya adalah masa kerja pengabdian bagi yang berusia 35 s/d 40 tahun tidak boleh terputus dan harus terus-menerus paling kurang 13 (tigabelas) tahun 9 (sembilan) bulan pada 1 Januari 2011.

Untuk surat lamaran ditulis dengan tinta hitam di atas kertas folio bergaris dan ditandatangani sendiri bermaterai Rp. 6000,- yang ditujukan kepada Bupati Nganjuk dengan alamat Jln.Jenderal Basuki Rahmat No.1 Nganjuk disertai :Pas photo hitam putih terbaru ukuran 3 x 4 sebanyak 6 lembar (ditempel dikertas HVS), Foto copy sah Ijasah, Transkrip Nilai, Akta Mengajar, Sertifikat Profesi yang sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan dan telah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang, sesuai dengan Lampiran Keputusan Kepala BKN Nomor 11 Tahun 2002 tanggal 17 Juni 2002, bagi yang usianya lebih 35 tahun sampai dengan 40 tahun dan mempunyai masa pengabdian pada instansi pemerintah/lembaga swasta yang berbadan hukum sesuai dengan PP Nomor 11 Tahun 2002, harus melampirkan foto copy sah Surat Keputusan/bukti pengangkatan pertama dan terakhir yang telah dilegalisir dan Asli Surat Keterangan Masih Aktif Melaksanakan Tugas pada unit kerja tersebut. Foto copy Kartu Pencari Kerja dari Dinas Tenaga Kerja atau Instansi lain yang berwenang yang masih berlaku dan dilegalisir .

Pendaftaran/Pengiriman lamaran dimulai tanggal 19 Nopember sampai dengan 3 Desember 2010 stempel pos. Sedangkan ujian dilaksanakan pada 12 Desember 2010.


Klik Link dibawah ini Untuk Download PDF Pengumuman Penerimaan CPNS 2010 Kab. NGANJUK
DOWNLOAD PDF

GOOD LUCK! Moga Jadi PNS
By kangjeri




Share:

Rabu, 17 November 2010

QURBAN....!?

Agar Anda diterima menjadi PNS, berapa Anda mau mengorbankan biaya, tenaga, dan materi? Agar Anda bisa ikut menjadi calon lurah, berapa Anda berani mengorbankan biaya? Bila sudah menjadi calur, agar terpilih, pastilah Anda akan lebih banyak lagi bersedia berkorban. Agar masuk daftar caleg nomor jadi, atau dipilih sebagai anggota DPD, berapa Anda berani berkorban harta dan tenaga? Agar Anda bisa menjadi calon presiden…

Dalam rangka agar anak Anda menjadi "orang", berapa Anda ikhlas berkorban? Untuk menyelamatkan nyawa kekasih Anda -suami, istri, anak, dlsb-, berapa Anda berani mengorbankan milik Anda? Untuk menyelamatkan nyawa atau sekadar kepentingan diri Anda sendiri, berapa Anda bersedia mengorbankan apa yang Anda punyai? Insya Allah, Anda akan menjawab spontan: "Aku bersedia mengorbankan segalanya!"


Selain adanya kecintaan, berkorban -sebagaimana bersyukur- memang memerlukan pemahaman dan kesadaran untuk apa kita berkorban -atau atas apa kita bersyukur. Orang yang mencintai jabatan; jabatan legislatif, misalnya, dan -atau karena- "memahami dan menyadari" betapa enaknya menjadi anggota DPR, tentu berbeda dengan mereka yang sama sekali tidak "cinta" atau "tidak paham" jabatan. Itulah sebabnya -wallahu a’lam-, banyak caleg yang itu-itu juga yang tampak dalam deretan "nomor topi". Mereka yang tidak "cinta" dan tidak memahami akan terheran-heran menyaksikan semangat berkorban yang begitu menggebu-gebu dari para caleg. Bukan hanya tenaga, pikiran, dan harta; bahkan persaudaraan pun sering dengan enteng mereka korbankan.

Seukur kecintaan dan pemahaman atau kesadaran itulah, besar kecilnya pengorbanan rela dipersembahkan. Orang yang hanya mencintai diri sendiri atau hanya memahami dan menyadari pentingnya diri sendiri tentu tidak dapat kita bayangkan bersedia mengorbankan sesuatu untuk yang lain. Orang yang tidak mencintai negara dan bangsanya atau tidak memahami dan menyadari pentingnya hal itu jangan harapkan mau berkorban untuk negara dan bangsanya. (Dan masya Allah, ternyata cukup banyak orang yang seperti ini, bukan? Banyak sekali orang yang merasa hidup di awang-awang sendiri, terlepas dari kaitan dengan negara dan bangsanya. Negara dan bangsa hanya dianggap perlu bagi urusan orasi dan agitasi. Banyak yang ingin senang sendiri; padahal jika dipikir, apa enaknya senang sendiri di negara yang terpuruk dan di tengah-tengah bangsa yang menderita).

Kecintaan yang terbesar yang segera dapat dipahami dan disadari hampir semua orang pastilah kecintaan kepada diri sendiri dan anak. Untuk dan demi diri sendiri dan anak inilah, kita sering menyatakan -dan bahkan membuktikan- bersedia mengorbankan "segalanya".

Sekarang bayangkan; Nabi Ibrahim a.s. yang bersedia dengan ikhlas hati mengorbankan nyawa belahan hatinya, anaknya sendiri dan Nabi Ismail a.s. yang bersedia dengan ikhlas mengorbankan dirinya. Adakah yang lebih berharga di dunia ini melebihi nyawa anak dan diri sendiri? Sikap tulus Nabi Ibrahim dan putranya seolah menjawab dengan tegas: "Ada. Ada yang jauh lebih berharga daripada itu. Yaitu, keridhaan Allah Sang Pencipta." Pengorbanan yang luar biasa dari manusia-manusia luar biasa -oleh kecintaan yang luar biasa- demi Yang Maha Luar Biasa.

Kita yang mengaku juga ingin mendapatkan ridha Tuhan kita, Allah SWT, wahai, seberapa besarkah kesediaan kita berkorban untuk hal-hal yang dapat mendekatkan diri kita kepada keridhaan-Nya. Berkorban untuk sesama, untuk negara dan bangsa, untuk agama? Untuk-Nya? Kiranya, jawabnya ada pada jawaban atas pertanyaan: sebesar apakah kecintaan kita kepada-Nya dan seberapa jauh pemahaman dan kesadaran kita.
Wallahu a’lam.
Share:

Perubahan atau Frustasi Politik?

Tumbangnya Orde Baru membawa angin segar demokrasi bagi rakyat Indonesia. Pemilu pertama dengan suara rakyat selepas masa Soeharto langsung diikuti oleh 48 partai politik (parpol). Keadaan tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sesudahnya; tahun 2004 diikuti oleh 24 parpol, dan tahun 2009 bertambah lagi menjadi 34 parpol.

Bagi sejumlah pihak, perjalanan demokrasi Indonesia, bagaimanapun, sudah merupakan sebuah perkembangan cukup baik; memang, benturan-benturan politik negara kita tidak sepanas negara yang sedang belajar demokrasi lainnya. Namun, bagi yang kontra, hal ini masih merupakan kelemahan, dalam hubungannya dengan etika politik para elit yang masih rendah.


Bersatu Melawan

Isu konfederasi untuk Pemilu 2014 telah terwacana dan sedang mengalami proses politiknya. Hal itu menjadi salah satu alternatif mengenai akan dibawa ke mana sistem demokrasi, mekanisme, dan tradisi berpolitik di Indonesia. Walaupun bukan ide baru, namun kemunculannya sekarang agaknya diuntungkan dengan adanya kejenuhan masyarakat akan sistem kepartaian.

Yang jadi persoalan adalah, jika kelak terbentuk, apa yang akan dilakukan oleh 'Konfederasi' selanjutnya? Apakah memang dimaksudkan untuk membentuk satu polar kekuatan politik demi rakyat banyak, atau tujuan lain? Isu ini mengingatkan pada kasus di Amerika Serikat tahun 1840-an: 'gerakan Know Nothing'.

Gerakan politik tersebut dibentuk sebagai reaksi salah satu kaum radikal atas adanya dominasi imigran Irlandia dan Jerman. Know Nothing dibentuk dalam rangka membendung imigran yang telah banyak merebut lapangan kerja dan posisi strategis bagi native (penduduk lama). Imigran dituding sebagai golongan yang merusak tatanan demokrasi, terlebih dengan kecenderungannya mendekat pada Partai Demokrat (Amerika).

Dengan intensifnya gerakan kaum yang 'tidak mengetahui apa-apa' ('know nothing') ini, pada akhirnya membuahkan hasil, dengan dukungan massa ekonomi lemah. Berbagai isu yang dihembuskan (agama, etnis, kewarganegaraan, ekonomi, dan demokrasi) begitu efektif menarik perhatian konstituen. Pada perkembangannya, gerakan massa—dengan nama resmi Partai Republik AS—ini meraih kemenangannya pada sejumlah pemilihan umum tahun 1850-an.

Dalam beberapa hal, wacana konfederasi parpol di Indonesia sekarang agaknya mirip dengan yang terjadi pada kasus Amerika hampir 2 abad silam tersebut: kekuatan politik sporadik berhadapan dengan sumberdaya besar.

Hal yang terjadi kemudian adalah, elemen sporadik melebur dalam satu gerakan baru. Cepatnya proses konsolidasi, pada tingkat elit, disebabkan oleh adanya persamaan kepentingan melawan dominasi imigran; dan, pada level konstituen, yang berkembang adalah isu populis massa mengambang.

Wacana konfederasi di negara kita, walaupun jelas tidak sama, namun serupa dengan kasus 'Know Nothing' dengan adanya satu kondisi, kejenuhan masyarakat atas tatanan yang dirasa tidak membawa dampak positif apapun. Pada tingkat elit, menandingi 'dominasi' lawan politik yang telah mapan menjadi landasan bersama; pada masyarakat menengah, penyederhanaan kepartaian dan perkembangan demokrasi menjadi isu menarik untuk meraih justifikasi; dan, pada level konstituen, adanya tampilan politik yang segar menjadi harapan akan adanya perubahan positif.

Komitmen Malu-malu

Kita punya pengalaman kepartaian masa Orde Baru dengan kebijakan fusi parpolnya. Beberapa kekuatan politik dilebur (fusi) menjadi dua parpol berbasis kaum nasionalis (PDI) dan agama (PPP), dan Golongan Karya. Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan antara konfederasi dengan sistem fusi, di mana fusi lebih pada peleburan beberapa parpol dalam satu bentuk baru. Namun, konfederasi lebih condong sebagai kesepakatan membentuk satu gerakan politik, tanpa melebur dalam bentuk baru.

Beberapa kerumitan menjadi persoalan kemudian. Bedanya Know Nothing, pada awal pembentukannya, memang sudah terwacanakan kecenderungannya sebagai satu bentuk parpol. Lalu, apa yang dilakukan 'Konfederasi' pada saat dan setelah Pemilu kelak; dan bagaimana kekuatan politiknya jika masing-masing tetap dalam eksistensi lamanya itu?
Pertama, yang menjadi soal adalah komitmen parpol terhadap kepentingan masyarakat. Bentuk konfederasi, tanpa lebur, lebih terlihat sebagai konsolidasi elit mengumpulkan suara demi kursi parlemen. Lalu, mengapa tidak dari awal saja berkomitmen untuk membentuk satu parpol baru? Dengan demikian, tentu akan lebih menampilkan komitmen dalam membentuk tatanan baru; dan, akan mudah dinilai konstituen dalam pertanggungjawabannya sebagai sebuah parpol.

Kedua, konfederasi, yang mungkin akan ternaungi atas nama satu parpol motor konfederasi, tidak cukup menjamin stabilnya kepercayaan konstituen. Perbedaan platform antarparpol dan basisnya, memunculkan kemungkinan bahwa konstituen justru tidak memilihnya. Mungkin saja Gerindra dengan sumberdayanya memang dapat menggaet 6 parpol, bahkan, dengan rencananya 9 parpol. Namun, belum tentu basis massa parpol anggota serta-merta dapat dimobilisasi dengan mudah.

Munculnya kemungkinan akan adanya konfederasi berbasiskan agama pun membuat adanya persoalan ketiga, yaitu politik berbasis agama (sektarianisme). PAN, yang menjadi salah satu parpol pengusung ide konfederasi, bisa memiliki kecenderungan paling besar dalam pembentukan kutub politik berbasis agama. Namun, sekarang tampaknya bukan saatnya lagi untuk mengulang sejarah 'Poros Tengah'.

Perkembangan etika dan pengetahuan politik masyarakat akan dipertaruhkan jika yang terjadi kemudian adalah pengumpulan suara dengan isu keagamaan. Hal itu akan membentuk sebuah kondisi politik tidak sehat dan irasional. Politik semacam itu terjadi sebelum era reformasi, tidak perlu ada lagi. Hal keempat adalah, apa kiranya manuver yang akan dilakukan oleh kekuatan politik lainnya?

Tidak menutup kemungkinan parpol besar lain juga saling merapat sebagai antisipasi. Hal ini membikin kondisi yang sama saja; lawan yang dilawan semakin kuat. Ide “asimilasi parpol” ala Partai Demokrat (Indonesia) menjadi gejala yang cukup mudah dilihat. Belum lagi persoalan administratif lain seputar mekanisme dan prosedur pemilu dan setelahnya, RUU Pemilu 2014 misalnya, dalam kaitannya dengan bentuk konfederasi ini.

Kalau begini, tanggapan klasik lagi-lagi muncul, 'Inilah proses berkembangnya demokrasi pada suatu negara'. Memang tidak ada salahnya mencoba bentuk baru dalam rangka perkembangan dan reformasi politik. Namun, kita seharusnya dapat membaca pengalaman kita dan kasus-kasus di negara lain untuk memahami dan mempelajarinya demi kebaikan kita di masa depan. Di masanya, Machiavelli dan Marx secara konsisten memang pernah bilang bahwa apapun dapat dilakukan untuk mereformasi tatanan; namun, Mahatma Gandhi dan Abdurrahman Wahid juga dhawuh, bahwa perubahan oleh elit harus dilakukan dengan pikiran jernih dan demi orang banyak! Perubahan bukan hanya demi perubahan itu sendiri sebab kejenuhan. Hal itu justru tampak seperti frustrasi para outsiders.

Lalu, bagaimana? Satu hal yang sepatutnya menjadi dasar aktivitas politik. Bukan efisiensi dan efektivitas, atau kepraktisan dan biaya; namun dampak positif yang jelas bagi pewujudan kebutuhan masyarakat banyak, itulah yang harusnya menjadi prioritas!

oleh :
(Sayfa Auliya Achidsti adalah staf LESBUMI Yogyakarta, peneliti.)
Share:

Selasa, 09 November 2010

Hari Pahlawan... "Berjuang tanpa Penjajahan?"

Tanggal 10 Nopember diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari di mana para pejuang Indonesia mempertahankan……….

kedaulatan negara yang dicoba dirampas kembali kemerdekaannya oleh Belanda yang membonceng sekutu di kota Surabaya. Dalam pertempuran yang menewaskan banyak pejuang itu, Bung Karno pernah menyebutnya sebagai sebuah peristiwa heroik dengan semangat macan.
Memang mempertahankan kemerdekaan amat berat. Kita tahu bahwa hal itu adalah sebuah perjuangan yang dihiasi oleh darah dan air mata. Amat terasalah perjuangan itu ketika pertama-tama berada dalam situasi kemerdekaan. Memang benar tidak semudah merebutnya.

Kini situasi sudah jauh berubah. Tak ada lagi penjajahan sebab seluruh bangsa-bangsa di dunia ini sudah menjadi negara berdaulat dan kemerdekaaan sudah menjadi sebuah hal universal bagi seluruh negara di manapun itu.
Masalah yang kita hadapi adalah bagaimana mengisi dan mempertahankan kemerdekaaan. Semangat 10 Nopember adalah kekuatan untuk hal itu. Kita tahu bahwa persoalan yang kita hadapi sekarang ini adalah persoalan yang berat. Penjajah memang tak lagi datang, tetapi bahwa model lain dari penjajahan itu sudah menjadi persoalan kita sejak lama.
Generasi muda kita tanpa terasa dijajah oleh industrialisasi Kapitalis, mereka mabuk dalam pencarian identitas tanpa sadar masuk dalam perangkap Kapitalis.
Dari dalam diri kita sendiri, penjajah datang dalam bentuk kebuntuan cara berpikir. Persoalan besar kita adalah persoalan kemiskinan, kebodohan, kemelaratan politik serta apatisme. Orientasi ke masa depan hampir tidak ada. Kalau kita berjalan sampai ke pelosok dan pedalaman negeri ini, yang ada hanyalah ketidakmampuan mengerti dan merancang mengenai masa depan.
Hal ini berkaitan dengan cara berpikir. Kita terbiasa tidak mau berjuang sebab kita mewarisi sebuah negeri yang sudah merdeka. Kita terbiasa hidup dalam kenyamanan kemapanan yang ada. Sebab kita adalah negeri yang amat terbiasa hidup dalam kenyamanan kehidupan yang semu. Sejak kita merdeka, memang negara ini tidak pernah membangkitkan semangat. Kita selalu dihantui oleh ketakutan jika berpartisipasi akan menghadapi masalah dari negeri ini.
Maka yang terjadi kini adalah sebuah negara tanpa arah dan tanpa semangat. Perhatikanlah setiap anak-anak yang bersekolah. Mereka memang pergi dan pulang, tetapi tidak tahu mengenai apa artinya masa depan. Perhatikan mereka yang bekerja, tanyakan apa yang sedang dikerjakan, pastilah akan menjawab untuk kepentingan dan investasi keluarganya sendiri. Tanyakan pada para birokrat, apa yang sedang mereka lakukan, mereka pasti menjawab bagaimana supaya mereka bisa tetap memperoleh gaji tanpa harus repot-repot.
Setiap orang di negeri ini memang amat sulit memperoleh napas baru bernama semangat tadi. Bandingkan dengan mereka yang tanpa tedeng aling-aling berjuang, angkat senjata dan menyerahkan nyawanya 10 Nopember 1948 silam. Mereka bersedia menyerahkan apa saja, demi satu tujuan yang membakar semangat mereka, yaitu mempertahankan kemerdekaan negerinya.
Sudah saatnyalah elit politik dan pemimpin negeri ini berhenti berbicara mengenai diri dan mereka saja. Sudah saatnya yang dibicarakan adalah bagaimana menyelamatkan negeri ini supaya bisa bertahan. Harus jujur kita akui bahwa fondasi semangat negeri ini sudah sangat rapuh. Yang ada adalah disharmoni, perebutan dan intrik politik serta korupsi. Bangsa ini harus dibangkitkan kembali semangatnya untuk bangkit dan mempertahankan ancaman yang datangnya dari dalam diri kita sendiri. (***)
Share:
Copyright © Kangjeri's Blog | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com