Orang yang gak pintar-pintar..

Jumat, 12 Maret 2010

Jasad Dulmatin Wangi ?

Ba'asyir : Mengapa Jasad Dulmatin Wangi
Vivanews. Meski tidak mengenal betul sosok Dulmatin, Pimpinan Ponpes Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menyakini bahwa Dulmatin bukanlah seorang teroris yang selama ini diburu polisi.



Menurutnya, Dulmatin adalah seorang mujahid, karena membela orang Islam yang tertindas di luar negeri. Kendati dinilai teroris, Ba'asyir mempersilahkan masyarakat tidak setuju dengan jihad cara Dulmatin.

"Silahkan masyarakat menilai, yang saya tahu mereka pejuang Islam, bukan teroris yang teroris adalah Amerika. Itu yang dibalik, maling teriak maling, tapi Indonesia taklid," kata Ba’asyir, Jumat, 12 Maret 2010.

Selain itu, menurut Ba'asyir berbeda jasad orang yang disebut teroris dengan jasad orang yang bukan teroris. Hal itu, dibuktikan dari jenazah Dulmatin dari kawan-kawan yang melihat langsung jenazahnya sebelum dimakamkan.

"Saya dengar dari kawan-kawan di sana yang melihat jenazah Dulmatin. Baunya wangi dan darah masih mengalir. Kenapa demikian, itu membuktikan kalau teroris lima menit setelah mati pasti busuk," kata Ba'asyir.

Meski simpati dengan aksinya melawan Amerika, tapi dia mengaku jihad yang dilakukan Dulmatin keliru.

Seperti diketahui, Dulmatin dipastikan tewas setelah di tembak oleh tim Densus 88 di Pamulang, Tangerang Banten pada Selasa 9 Maret 2010, bersama tiga orang yang diduga teroris.

Penangkapan Dulmatin berawal dari penyergapan sejumlah kelompok teroris di Aceh Besar yang merupakan kelompok teroris Pamulang.

Saat ini, jenazah Dulmatin Tersangka teroris Dulmatin telah dipulangkan ke Pemalang, Jaw Tengah subuh tadi. Menurut rencana, jasad Dulmatin alias Joko Pitono akan dimakamkan pukul 08.00 WIB.

Dikutip dari tvOne, Jumat 12 Maret 2010, jasad Dulmatin saat ini disemayamkan di kediaman keluarga di Jalan Garuda Pasar Patarukan, Jawa Tengah.

Informasi yang diperoleh, pukul 8.00 WIB Dulmatin akan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Lenong, Kelurahan Lenong. Pemakaman ini berjarak sekitar 5 kilometer dari kediaman keluarga.

Proses pemakaman ini diawali dengan upacara pelepasan oleh seluruh keluarga besar Dulmatin. Iringan takbir pun lantang disuarakan sekelompok orang bersama keluarga.

Share:

Jumat, 05 Maret 2010

TAN MALAKA : Pejuang Muslim Revolusioner Islam yang Terlupakan

Oleh : Imam El-haq

Sejarah Singkat Kehidupannya

Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka, gelar yang diberikan kepada Tan Malaka ketika berumur balig. Ini merupakan tradisi masyarakat minangkabau yang turun temurun memberi gelar bagi anak bangsawan. Dilahirkan 1897 di Suliki, Sumatra Barat. Tan malaka dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama (Religius), sangat takut terhadap Allah dan rajin menjalankan perintah-perintahnya. Sebagaimana orang-orang Minang pada umumnya. Tan Malaka tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, lincah dan sehat, terbukti ketika Ibrahim nama kecil Tan Malaka dalam usia yang sangat muda sudah mampu menafsirkan Al Qur’an (Ahmad Suhelmi dkk, 2000).

Kehidupan alam Minangkabau dan gemblengan dari orang tuanya yang religius banyak mempengarui cara berpikir Tan Malaka muda dalam mengarungi perjalanan karirnya sebagai tokoh revolusioner dan founding father bangsa ini kelak.

Berkat orang tuanya tergolong bangsawan (walaupun rendah) Tan Malaka mampu untuk mengecap pendidikan di bangku sekolah waktu itu. Tahun 1903 masuk ke sekolah rendah di Suliki lalu melanjutkan ke sekolah raja atau Kweekscholl di Bukit Tinggi. Banyak orang yang simpatik terhadap pribadi Tan Malaka karena kesopanan, kecerdasannya, kelincahan dan ketekunannya sehingga salah satu guru Belandanya menyarankannya untuk ke Belanda melanjutkan studinya di sekolah guru di Haarlem dekat Amsterdam.

Mengingat pengorbanan dan jasa-jasa dari kampung halaman yang begitu besar hanya untuk pendidikan Tan Malaka, ia tidak disia-siakan. Olehnya ia belajar sungguh-sungguh. Dari disinilah perkenalannya dengan marxisme dan tokoh-tokoh politik perjuangan pergerakan dari Indonesia, seperti Suwardi Suryaningrat (ki hajar dewantara), juga tokoh komunis seperti Henk Sneevliet dan Wiessing. Tan Malaka belajar selama 6 tahun di Belanda, dan pada tahun 1919 kembali ke tanah air hingga dimulailah karirnya menjadi seorang guru.

Perjuangan tokoh yang radikal, militan serta revolusioner semata-mata hanya demi melawan sistem penindasan manusia atas manusia lain yakni kapitalisme yang menurutnya merupakan alasan atas imperialisme dan kolonialisme yang terjadi atas bangsa dan tanah airnya. Tan malaka lebih memilih berjuang bersama buruh dan petani demi pertiwi dengan menanggalkan semua harapan akan masa depan serta gaji yang tinggi sebagaimana harapan guru, orang tua serta orang-orang yang telah berjasa selama menempuh studinya sampai ke Belanda. Namun sikap yang diambil oleh Tan Malaka ini merupakan sebuah ijtihad politiknya untuk menjalankan perjuangan revolusionernya melawan sistem kapitalis yang menindas bangsanya, bukan memusuhi orang atau masyarakat yang hidup di bawah sistem tersebut (Harry A. Poeze, 1999).

Pejuang yang kesepian. Itulah sosok Tan Malaka. Tidak banyak yang kenal betul terhadapnya selain sahabat karibnya Djamaluddin Tamim rekannya dalam membentuk PARI (partai rakyat indonesia) yang dibentuknya pada tahun 1926. Ketika pemberontakan PKI gagal sehingga seluruh anggotanya digulum habis oleh Pemerintah kolonial waktu itu. Selain itu dirinya sangat misterius dan kontroversial bagi pejuang-pejuang lain. Karena gagasan-gagasan revolusionernya sehingga Tan Malaka dikejar-kejar bahkan mengalami pembuangan ke luar negeri oleh polisi kolonial, sebab itulah makanya tak banyak yang mengenalnya, kecuali lewat gagasan yang dituangkan dalam bentuk buku, brosur dan pamflet.baik yang diterbitkan dalam dan luar negeri antara lain yang masterpiecenya yang cukup terkenal yaitu Madilog (1943), yang ditulisnya dalam sebuah gubuk di dekat Kalibata dalam penyamaranya sebagai buruh pabrik sepatu. Dan yang lainnya yaitu Dari Penjara ke Penjara (3 jilid, 1948), , Parlement atau Soviet (1920), SI semarang dan Onderwijs (1921), Dasar Pendidikan (1921), Naar de Republiek Indonesia (1942), Semangat Muda (1925), Massa Actie (1926), Manifesto Bangkok (1927), PARI dan International (1927), PARI dan PKI (1927), Pari dan Nasionalisten (1927), Asia Bergabung (1943), Manifesto Jakarta (1945), Politik, Rencana Ekonomi Berjuang dan Muslihat (1945), Thesis (1946), Islam dalam tinjauan Madilog (1948), Pandangan Hidup (1948), Kuhandel di Kaliurang (1948), Gerpolek (1948) (Taufik Adi Susilo,2008). Pada awal tahun 2000-an, banyak bukunya yang diterbitkan ulang oleh penerbit-penerbit nasional, sepeti Massa Actie dan Gerpolek; gerilya ekonomi politik yang bisa kita dapatkan di toko-toko buku.

Tan Malaka dan Pan Islamisme

Tan malaka adalah contoh pemimpin yang berjuang dan melahirkan gagasan yang hebat untuk mensejahterakan bangsanya tanpa pamrih. Walaupun Tan malaka banyak mengadopsi Faham marxisme dan komunis, ia tidak lupa apa yang telah dibekalkan padanya dengan dasar keIslaman yang kuat dan kukuh dari kampung halamannya di Minang. Tan Malaka selalu berpikir yang dinamis dan mempertanyakan untuk melahirkan gagasan baru untuk menyelamatkan bangsanya yang dijajah.

Pada tahun 1921 Tan Malaka resmi menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia. Tapi jabatan itu tidak dapat dijalankan secara total dikarenakan akibat aktivitas politiknya maka dia ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial. Dalam pembuangannya tersebut Tan Malaka dapat menghadiri kongres Komintern (komunis internasionale) keempat, November 1922 di Moskow. Kapasitasnya sebagai wakil dan penasihat dari Indonesia. Di sinilah pertemuannya dengan tokoh-tokoh komunis dunia seperti Vladimir Illich Lenin, Joseph Stalin, dan Leon Trostky serta Hochi Minh pemimpin komunis Vietnam. Beruntung Tan Malaka mendapat kesempatan berpidato selama lima menit, dan kesempatan ini dia pergunakan untuk menyampaikan gagasan revolusioner tentang kerja sama antara komunis dan Islam.

Semangat dan jiwa sorang muslim tetap disandangnya. Dalam pidatonya tersebut, Tan Malaka mengatakan bahwa komunis tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa saat itu ada 250 juta warga muslim di dunia, dan Pan Islamisme juga sedang berjuang melawan imperialisme, perjuangan yang sama dilakukan oleh gerakan komunisme. Oleh karenanya gerakan penyatuan antara gerakan itu harus didukung, dan pidato yang bersemangat itu diakhirinya dengan sebuah pertanyaan yang ditujukan untuk peserta terutama petinggi-petinggi komunis dari Bolshevik tua sebagai pengambil keputusan. Bunyinya pernyataannya “maka dari itu saya bertanya sekali lagi, haruskah kita mendukung pan Islamisme?”

Pembelaan atas Pan Islamisme tentunya sangat beralasan dan kuat. Di samping fakta bahwa kekuatan kaum buruh masih sedikit dan belum memadai untuk terorganisir, karena PKI sebagai organisasi politik belum mengakar kuat di dalam masyarakat, sehingga PKI masih lemah untuk memonopoli dan berjuang sendiri melawan kekuasaan kolonial yang kuat dan totaliter waktu itu. Indonesia termasuk negara yang penduduk muslimnya terbesar di dunia, maka semua kekuatan dari element-element harus bersatu di bawah satu payung revolusi yang bersatu dalam kekuatan-kekuatan yang beraliran Islam dan nasionalis.

Ditambah alasan Komintren yang menggangap Pan Islamisme merupakan musuh dari marxisme/komunis, yang diperkuat oleh keputusan Komintern tahun 1920 untuk mnempatkan Pan Islamisme Sebagai musuh dan lawan karena Pan Islamisme dianggap sebagai bentuk lain dari imperialisme, maka itu harus dilawan, tapi Tan Malaka melihat berbeda dan dia ingin mengoreksi serta mengkritisi keputusan yang salah kaprah itu. Menurutnya kekutan Islam yang membawa Pan Islamisme itu harus dirangkul dan diajak kerja sama karena Pan Islamisme menurutnya merupakan wahana atau alat yang bisa dipakai oleh masyarakat Islam di negara-negara terjajah di Asia dan Afrika dalam melawan kapitalisme dalam bentuk kolonilisme dan imperialisme. Dikarenakan Tan Malaka melihat gelombang modernisasi atau pembaharuan Islam dalam diri Pan Islamisme yang mampu mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang baru pula bagi masyarakat yang dijajah untuk merdeka, karena itu merupakan keputusan yang salah dan sangat keliru untuk memusuhi Islam dan gerakan Pan Islamisme.

Visi dan keyakinan politik perjuangannya masih sangat kental dengan nuansa-nuansa keislaman. Walaupun dia termasuk dalam partai komunis namun Tan Malaka merupakan tokoh yang kontroversial karena mendukung aliansi Islam, sehingga ia sering tak sepaham dengan kawan-kawan seperjuangan lainnya. Apalagi setelah pemberontakan PKI 1925, yang dikritik keras oleh Tan Malaka berhasil dipatahkan oleh pemerintah kolonial. Melihat itu Tan Malaka semakin yakin akan persepsinya tentang persatuan perjuangan yang harus besar dan kuat, untuk itu menurutnya persatuan dan kerja sama yang erat dari semua kekuatan politik yang anti kapitalisme dan imperialisme mutlak sifatnya.

Semakin kuat dan besar sebuah gerakan anti imperialisme, maka makin besar pula dorongan penjajah untuk memakai politik memecah belah. Mungkin itu yang terjadi antara PKI dengan semangat sosialismenya dan SI (sarekat islam) dengan jargon Pan Islamismenya. Perseteruan antara keduanya hanya akan semakin melemahkan gerakan dan semangat anti kolonial, dan tan malaka kecewa melihat itu sebagaimana yang dikatakanya kalau perbedaan Islamisme dan Komunisme kita perdalam dan dilebih-lebihkan, berari kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus menerus mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia”, katanya. Dan pendapatnya ini didukung oleh tokoh SI Kiai Haji Hadikusumo, menurutnya mereka yang memecah belah persatuan rakyat berarti bukan muslim sejati, ujarnya’.

Di bawah kepemimpinan H. Agus Salim, Sarekat Islam menerapkan “disiplin partai”. Sebuah kebijakan yang melarang anggotanya untuk terlibat dalam keanggotaan partai lain atau SI membatasi keangoatan PKI dalam tubuh sarekat Islam. Kondisi ini justru memperuncing keadaan dan perpecahan gerakan. Tentunya, kondisi ini dimanfaatkan oleh pemerintah kolinial untuk memakai politik pecah belahnya. Lagi-lagi Tan Malaka sedih melihat perpecahan itu, namun setelah PKI di bawah kepemimpinannya, upayanya untuk menyatukan kekuatan itu memperlihatkan keberhasilan, tetapi pemerintah kolonial membuangnya ke negari Belanda tahun 1922. Namun prinsip politiknya untuk penyatuan Pan Islamisme dan nasionalisme serta komunis tetap tidak pernah berubah. Walaupun ia ditangkap, di buang, hingga diasingkan, semangat serta keyakinan untuk menyatukan kekuatan revolusioner tersebut selalu terpatri dalam sanubarinya.

Sangat mustahil kita menginginkan revolusi atau mengusir penjajah yang berwatak kapitalis dan kolonial, jika persatuan itu tak terjadi. Islam memusuhi komunis, PKI membenci SI. Ini hanya akan “merugikan perjuangan” kata Tan Malaka. Juga bahkan akan menyebabkan kegagalan revolusi. Sayang seribu sayang, belum sempat ijtihad politik Tan Malaka berhasil untuk menyatukannya lalu membangun gerakan besar dan kuat untuk menumbangkan rezim penjajah kolonial dalam sebuah revolusi, pejuang kesepian ini sudah meregang nyawa. Mayatnya di buang di kali Brantas, oleh pasukan militer suruhan Sjahrir. Tan Malaka Gugur sebagai martir untuk bangsanya sendiri, bangsa yang selama ini diperjuangkannya. Namanya tidak seharum Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir dan pejuang-pejuang kemerdekaan lain. Tetapi pasti, Ia syahid!
Share:
Copyright © Kangjeri's Blog | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com